28.9.09

QUANTUM LEARNING

QUANTUM LEARNING
Meningkatkan Melek Aksara
Oleh : Drs. Abdul Hamid, M.Pd

A. Pendahuluan


Disadari sepenuhnya bahwa pendidikan merupakan salah satu bidang yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan nasional. Pendidikan yang berkualitas dapat mengantarkan Indonesia menjadi bangsa yang modern, maju, makmur, dan sejahtera yang tercermin pada keunggulan dan kemampuan bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Untuk itu, pemerintah harus menempatkan pendidikan sebagai salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Pembangunan pendidikan sangat penting karena memberi kontribusi signifikan pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan menjadi landasan yang kuat dalam menghadapi era global yang sarat dengan persaingan antarbangsa yang berlangsung sangat ketat.

Bagi pendidikan formal, pemanfaatan potensi sumber daya alam yang ada di daerah dapat dimasukan ke dalam muatan lokal (mulok). Sedangkan, bagi pendidikan nonformal; sekolah-sekolah dapat dijadikan sebagai tempat pelatihan atau pembinaan. Misalnya, untuk daerah yang berbasiskan pertanian, maka diadakan pembinaan atau pendidikan yang berkaitan dengan keterampilan hidup yang berkaitan teknik mengelola tanah yang baik dan menguntungkan. Tidak hanya sebatas proses produksi, dalam school center learning juga diberikan pembinaan peningkatan nilai tambah (added value) serta dibentuknya jaringan pemasaran. Begitu juga dengan daerah yang dekat dengan laut, maka dilakukan pembinaan mulai dari kegiatan penangkapan, peningkatan nilai tambah hingga pemasaran. Tentu saja, semua ini bergantung pada keseriusan pemerintah daerah dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia dengan sumber daya manusia yang ada.

Pemikiran ini sejalan dengan pemikiran Peter Senge dalam Fifth Discipline, yang membuktikan komunitas yang berdaya saing adalah komunitas yang menerapkan prinsip-prinsip pcmbelajaran dalam kehidupannya. Kebutuhan masing-masing kelompok belajar disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing kelompok sasaran di kelompok belajar masing-masing. Lebih dari itu, konsep revitalisasi peran kelompok belajar ini dapat menjadi lebih bermanfaat karena dikaitkan dengan tingkat optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan pengembangan jejaring (networking) yang dapat meningkatkan produktivitas kelompok belajar, termasuk dalam bidang ekonomi.

Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO) memiliki definisi sebagai berikut: Melek aksara adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, membuat, mengkomunikasikan dan mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan yang berkaitan dengan berbagai situasi

Kemampuan baca-tulis dianggap penting karena melibatkan pembelajaran berkelanjutan oleh seseorang sehingga orang tersebut dapat mencapai tujuannya, dimana hal ini berkaitan langsung bagaimana seseorang mendapatkan pengetahuan, menggali potensinya, dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat yang lebih luas.

Banyak analis kebijakan menganggap angka melek aksara adalah tolak ukur penting dalam mempertimbangkan kemampuan sumber daya manusia di suatu daerah. Hal ini didasarkan pada pemikiran yang berdalih bahwa melatih orang yang mampu baca-tulis jauh lebih murah daripada melatih orang yang buta aksara, dan umumnya orang-orang yang mampu baca-tulis memiliki status sosial ekonomi, kesehatan, dan prospek meraih peluang kerja yang lebih baik. Argumentasi para analis kebijakan ini juga menganggap kemampuan baca-tulis juga berarti peningkatan peluang kerja dan akses yang lebih luas pada pendidikan yang lebih tinggi.

Proses belajar-mengajar konvensional yang terjadi sekarang ini mengharuskan peserta didik untuk mendengarkan, mencatat dan menghafal begitu banyak materi pelajaran yang diberikan oleh tutor, tanpa dibekali pelajaran yang dapat membangun rasa percaya diri, merasa berhasil dalam hidup mereka dan bergembira pada waktu yang bersamaan.

Proses belajar yang memperkuat tubuh dam memperkaya jiwa serta mendidik pikiran sehingga peserta didik menjadikan pengalaman belajar ini dapat diterapkan pada kehidupan nyata, bukan sematamata bersifat akademis atau teoritis. Metode Quantum Learning menawarkan suatu metode yang efektif di dalam proses, sehingga metode ini dapat diterapkan sebagai perubahan cara belajar peserta didik. Namun demikian, tidak semua peserta didik mudah menerima suatu perubahan.


B. Keaksaraan Fungsional


Upaya pemberantasan buta aksara di dukung oleh Inpres Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar 9 Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara (GNP-PWB/PBA), Keputusan bersama Mendiknas, Mendagri dan Meneg Pemberdayaan Perempuan tentang percepatan PBA, khususnya kaum perempuan serta adanya penandatanganan MoU antara Mendiknas dengan 26 Gubernur dan Bupati/Walikota mengenai PBA di daerah masing-masing.

Dimana, program keaksaraan fungsional merupakan salah satu bentuk layanan Pendidikan Nonformal (PNF) bagi masyarakat yang belum dan ingin memiliki kemampuan ca-lis-tung, dan setelah mengikuti program ini (hasil belajarnya) mereka memiliki kemampuan "baca-tulis-hitung" dan menggunakannya serta berfungsi bagi kehidupannya. Artinya mereka tidak hanya memiliki kemampuan ca-lis-tung dan keterampilan berusaha atau bermata-pencaharian saja, tetapi juga dapat survive dalam dunia kehidupannya.

Perlu diketahui, keaksaraan fungsional hanya dapat didefenisikan secara utuh, jika mengacu pada konteks sosial lokal dan kebutuhan khusus dari setiap warga belajar. Sebagai contoh, warga belajar yang hidup di daerah perkotaan, di mana di sekitarnya terdapat berbagai instansi/lembaga pemerintah dan swasta, serta tersedianya berbagai media informasi baik cetak maupun elektronik, tentu diperlukan program keaksaraan fungsional dengan penekanan pada kemampuan fungsional yang lebih tinggi seperti belajar tentang akuntansi, cara menggunakan telepon, sopan santun berlalulintas di jalan raya, serta hal-hal yang berhubungan dengan dunia perbankan dan sebagainya.

Ada lima penyebab tingginya tingkat buta aksara di Indonesia. Kelima penyebab tersebut adalah, tingginya angka putus Sekolah Dasar (SD), beratnya kondisi geografis Indonesia, munculnya penyandang buta aksara baru, pengaruh faktor sosiologis masyarakat, serta kembalinya seseorang menjadi penderita buta aksara.

Masalah buta aksara merupakan masalah yang sudah terjadi sejak ratusan tahun yang lalu. Kebutaaksaraan sangat terkait dengan kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan serta ketidakberdayaan suatu masyarakat.

Ini sangat berkaitan dengan sejarah suatu bangsa. Umumnya negara-negara miskin dan korban jajahan oleh negara-negara lain memiliki penduduk dengan tingkat buta aksara yang tinggi. Namun buta aksara tidak hanya ada di negara-negara berkembang dan berpenduduk besar. Di negara-negara yang saat ini tergolong maju pun, masyarakatnya banyak yang tergolong buta aksara. Bedanya, saat ini mereka sudah terbebas, sementara negara-negara bekas jajahan mereka masih menjadi penyandang buta aksara yang besar.

Ukuran ini mengadopsi tiga hal utama yang diyakini paling mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia, yaitu umur harapan hidup (life expectancy), tingat melek aksara (literacy), kombinasi tingkat peserta didik yang mendaftar di sekolah dasar, menengah dan tinggi (gross enrollment ratio), serta tingkat kesejahteraan (Produk Domestik Bruto). Ukuran itu dinamakan Human Development Index (HDI).

Melek aksara juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan bahasa dan menggunakannya untuk mengerti sebuah bacaan, mendengarkan perkataan, mengungkapkannya dalam bentuk tulisan, dan berbicara. Dalam perkembangan moderen kata ini lalu diartikan sebagai kemampuan untuk membaca dan menulis pada tingkat yang baik untuk berkomunikasi dengan orang lain, atau dalam taraf bahwa seseorang dapat menyampaikan idenya dalam masyarakat yang mampu baca-tulis, sehingga dapat menjadi bagian dari masyarakat tersebut.

Pemberian konsep "calistung" serentak dengan pengenalan bahasa Indonesia terlalu berat bagi peserta didik yang rata-rata kecerdasannya terbatas. Huruf kapital diberikan secara terpisah dari huruf kecil menyebabkan penghafalan tiga kali/langkah oleh peserta didik.

Beberapa model inovasi untuk mempercepat pemberantasan buta aksara telah diterapkan di masyarakat yang disesuaikan dengan kondisi geografis dan budaya masyarakat setempat. Model pendekatan pemberantasan buta aksara memang kita serahkan kepada masing-masing daerah sebab belum tentu satu model pendekatan yang sukses di sutau daerah misalnya cocok diterapkan di daerah lainnya.


C. Pembelajaran Model Quantum Learning


Quantum learning ialah kiat, petunjuk, strategi, dan seluruh proses belajar yang dapat mempertajam pemahaman dan daya ingat, serta membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan dan bermanfaat. Beberapa teknik yang dikemukakan merupakan teknik meningkatkan kemampuan diri yang sudah populer dan umum digunakan. Namun, Bobbi DePorter mengembangkan teknik-teknik yang sasaran akhirnya ditujukan untuk membantu para peserta didik menjadi responsif dan bergairah dalam menghadapi tantangan dan perubahan realitas (yang terkait dengan sifat jurnalisme). Quantum learning berakar dari upaya Georgi Lozanov, pendidik berkebangsaan Bulgaria. Ia melakukan eksperimen yang disebutnya suggestology (suggestopedia). Prinsipnya adalah bahwa sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detil apa pun memberikan sugesti positif atau negatif. Untuk mendapatkan sugesti positif, beberapa teknik digunakan. Para peserta didik di dalam kelas dibuat menjadi nyaman. Musik dipasang, partisipasi mereka didorong lebih jauh. Poster-poster besar, yang menonjolkan informasi, ditempel. Guru-guru yang terampil dalam seni pengajaran sugestif bermunculan.

Dari proses inilah, quantum learning menciptakan konsep motivasi, langkah-langkah menumbuhkan minat, dan belajar aktif. Membuat simulasi konsep belajar aktif dengan gambaran kegiatan seperti: “belajar apa saja dari setiap situasi, menggunakan apa yang Anda pelajari untuk keuntungan Anda, mengupayakan agar segalanya terlaksana, bersandar pada kehidupan.” Gambaran ini disandingkan dengan konsep belajar pasif yang terdiri dari: “tidak dapat melihat adanya potensi belajar, mengabaikan kesempatan untuk berkembang dari suatu pengalaman belajar, membiarkan segalanya terjadi, menarik diri dari kehidupan.”

Penataan lingkungan belajar ini dibagi dua yaitu: lingkungan mikro dan lingkungan makro. Lingkungan mikro ialah tempat peserta didik melakukan proses belajar (bekerja dan berkreasi). Quantum learning menekankan penataan cahaya, musik, dan desain ruang, karena semua itu dinilai mempengaruhi peserta didik dalam menerima, menyerap, dan mengolah informasi. Ini tampaknya yang menjadi kekuatan orisinalitas quantum learning. Akan tetapi, dalam kaitan pengajaran umumnya di ruang-ruang pendidikan di Indonesia, lebih baik memfokuskan perhatian kepada penataan lingkungan formal dan terstruktur seperti: meja, kursi, tempat khusus, dan tempat belajar yang teratur. Target penataannya ialah menciptakan suasana yang menimbulkan kenyamanan dan rasa santai. Keadaan santai mendorong peserta didik untuk dapat berkonsentrasi dengan sangat baik dan mampu belajar dengan sangat mudah. Keadaan tegang menghambat aliran darah dan proses otak bekerja serta akhirnya konsentrasi peserta didik.

Melalui metode belajar yang mudah dipraktekkan, efektif, dan menyenangkan seseorang dirangsang semangatnya untuk berusaha keras menguasai materi yang ia pelajari. Ia tak ubahnya anak balita yang diberi mainan baru. Tanpa bertanya "ba bi bu", ia langsung terdorong untuk mengutak-atik mainan itu karena ia ingin mengenalnya lebih dekat dan dari segala penjuru. Inilah yang disebut proses belajar menyeluruh atau global learning.

Menurut DePorter dalam pembelajaran Quantum Learning ada 5 ciri spesifik yang berguna untuk meningkatkan otak untuk memahami suatu informasi yang diberikan. Ciri-ciri tersebut adalah:

· Learning To Know yang artinya belajar untuk mengetahui

· Learning To Do yang artinya belajar untuk melakukan

· Learning To Be yang artinya belajar untuk menjadi dirinya sendiri

· Learning To Live Together yang artinya belajar untuk kebersamaan


Dalam buku Quantum Learning yang ditulis oleh Bobbi DePorter dan Mike Hernacki ada 3 (tiga) metode utama dalam pembelajaran Quantum Learning, yaitu :

· Mind Mapping yang artinya peta pikiran.

· Speed Reading yang artinya membaca cepat

· Super Memory System yang artinya menoptimalkan daya ingat


Program ini bertumpu pada asumsi bahwa setiap orang memiliki potensi besar dan dapat berhasil baik di kelompok belajar maupun dalam kehidupannya jika diberi peranti dan keyakinan untuk belajar dan tumbuh-berkembang, bahwa peserta didik yang memiliki harga diri (self-esteem) positif akan belajar sangat cepat dan efektif. DePorter mengembangkan teknik untuk membantu menggempur kendala yang menghalangi seseorang untuk meraih sukses, seperti motivasi yang rendah, harga-diri yang kerdil, serta prestasi yang minim.


D. Belajar Aksara dengan Quantum Learning


Pemikiran tentang pembelajaran keaksaraan fungsional dengan menggunakan metode Quantum Learning yang membuktikan komunitas yang berdaya saing adalah komunitas yang menerapkan prinsip-prinsip pcmbelajaran dalam kehidupannya. Kebutuhan masing-masing tempat belajar disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing warga belajar di kelompok belajar masing-masing. Lebih dari itu, optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan pengembangan jejaring (networking) yang dapat meningkatkan kemampuan belajar baca-tulis-hitung, termasuk dalam bidang ekonomi.

Dalam belajar aksara dengan model Quantum Learning agar dapat berjalan dengan benar, maka paradigma yang harus dianut oleh peserta didik dan tutor adalah sebagai berikut :

a. Setiap orang adalah tutor dan sekaligus peserta didik sehingga bisa saling berfungsi sebagai fasilitator


b. Bagi kebanyakan orang belajar akan sangat efektif jika dilakukan dalam suasana yang menyenangkan, lingkungan dan suasana yang tidak terlalu formal, penataan duduk setengah melingkar tanpa meja, penataan sinar atau cahaya yang baik sehingga peserta merasa santai dan relak.


c. Setiap peserta didik mempunyai gaya belajar, bekerja dan berpikir yang unik dan berbeda yang merupakan pembawaan alamiah sehingga kita tidak perlu merubahnya dengan demikian perasaan nyaman dan positif akan terbentuk dalam menerima informasi atau materi yang diberikan oleh fasilitator.


d. Modul pelajaran tidak harus rumit tapi harus dapat disajikan dalam bentuk sederhana dan lebih banyak ke suatu kasus nyata atau aplikasi langsung.


e. Kunci menuju kesuksesan model Quantum Learning adalah latar belakang (background) musik klasik atau instrumental yang telah terbukti memberikan pengaruh positip dalarn proses pembelajaran. Musik klasik dapat meningkatkan kemampuan mengingat, mengurangi stress, meredakan ketegangan, meingkatkan energi dan membesarkan daya ingat.


f. Metoda peran dimana peserta berperan lebih aktif dalam membahas materi sesuai dengan pengalamannya melalui pendekatan terbalik yaitu membuat belajar serupa bekerja (pembelajaran orang dewasa)


g. Umpan balik yang positif akan mampu memotivasi peserta didik untuk berprestasi namun umpan balik negative akan membuat peserta didik menjadi frustasi.


Dari proses belajar di atas, maka belajar aksara dengan Quantum Learning dapat meningkatkan motivasi, menumbuhkan minat, dan belajar baca, tulis, dan hitung bag setiap peserta didik.


E. Penutup


Tutor dalam membelajarkan keaksaraan denga menggunakan model Quantum Learning di haruskan selalu menghargai setiap usaha dan hasil kerja peserta didik serta memberikan stimulus yang mendorong peserta didik untuk bernuat dan berpikir sambil menghasilkan kara dan pikiran kreatif. Ini memungkinkan peserta didik menjadi pembelajar seumur hidup. Suasana belajar peserta didik, tutor dapat mengarahkan kearah ke ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Suasana belajar juga melibatkan mental–fisik–emosi–sosial peserta didik secara aktif supaya memberi peluang peserta didik untuk mengamati dan merekam data hasil pengamatan, menjawab pertanyaan dan mempertanyakan jawaban, menjelaskan sambil memberikan argumentasi, dan sejumlah penalaran.

Pengalaman belajar pada kelompok keaksaraan hendaknya mengguna-kan sebanyak mungkin indera untuk berinteraksi dengan isi pembelajaran (calistung). Terdapat kegiatan membaca, menjelaskan, demonstrasi, praktek, diskusi, kerja kelompok, pengulangan kembali dalam menjelaskan dan cara lain yang bisa ditemukan oleh tutor.


Daftar Pustaka

DePorter, Bobbi and Mike Hernacki, (2001) Quantum Learning, New York: Dell Publishing.

Kusnadi, dkk. (2005). Pendidikan Keaksaraan (Filosofi, Strategi, dan Imple-mentasi). Jakarta : Dirjen PLS Direktorat Pendidikan Masyarakat.

Sudjana, D. (2000). Pendidikan Luar Sekolah, Wawasan, Sejarah Perkem-bangan, Falsafah dan Teori Pendukung Asas. Bandung: Falah Production.


30.7.09

Pelaksanaan Program Pendidikan Nonformal

PROGRAM YANG DILAKSAKAN DI UPT PPNFI DINAS PPO PROVINSI NTT yaitu :

1. Program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

Hingga saat ini UPT PPNFI Dinas PPO telah menyelenggarakan 3 (tiga) bentuk PAUD langsung di kampus UPT PPNFI yakni, Kelompok Bermain Pelangi, Kelompok Bermain Integrasi Sekolah Minggu Tiberias, dan TPA Pelangi. sedangkan diluar kampus sebanyak 10 kelompok bermain.

2. Pembelajaran Program Keaksaraan
Hingga saat ini UPT PPNFI telah menyelenggarakan sebanyak 131 kelompok KF dari tahun 2005

3. Penyelenggaraan paket A Setara SD

Program Paket A Setara Sekolah Dasar adalah program yang dilaksanakan dalam rangka memberikan layanan pendidikan kepada warga masyarakat yang oleh berbagai persoalan kehidupan, tidak dapat melanjutkan pendidikan dan drop out (DO) pada kelas tertentu yang disebabkan oleh berbagai kesulitan hidup dengan sasaran usia 10-13 tahun untuk memperoleh pendidikan setara sekolah dasar. UPT PPNFi memiliki binaan sebanyak 2 kelompok.

4. Penyelenggaraan Paket B Setara SMP

Program Paket B setara SMP adalah program yang dilaksanakan dalam rangka memberikan layanan pendidikan kepada warga yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. UPT PPNFI memiliki binaan sebanyak 6 kelompok.




5. Penyelenggaraan Paket C Setara SMA
Program Paket C Setara Sekolah Menengah Atas (SMA) merupakan program yang dilaksanakan dalam rangka layanan pendidikan kepada masyarakat yang telah tamat pendidikan dasar 9 tahun (Paket B Setara SMP, SMP/MTs dan sejenis) tetapi tidak dapat melanjutkan pendidikan kejenjang lebih tinggi melalui jalur formal (SMU/SMK). UPT PPNFI memiliki binaan sebanyak 4 kelompok.


6. Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi

Pelaksanaan kegiatan dan pemanfaatan dana blog grant Pendidikan nonformal untuk Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) perlu dipantau dan dibuna oleh BP-PLSP Regional IV Surabaya dan UPT Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal Dinas Pendidikan, pemuda dan Olahraga agar dapat mencapai tujuan yang direncanakan. Disamping itu, pemantauan, evaluasi dan pembinaan dapat dilaksanakan pula oleh berbagai pihak dengan substansi pemantauan yang berbeda.
Kegiatan pemantauan Evaluasi merupakan pembinaan dalam satu rangkaian kegiatan pelaksanaan program Pendidikan Nonformal dan Peningkatan Mutu Tenaga Pendidik dan Kependidikan sehingga dapat memastikan kualitas pemanfaatan dana block grant PTK-PNF dan block grant Pendidikan Nonformal, yang tujuannya untuk mengetahui ketepatan pemanfaat dana block grant sesuai dengan proposal yang diajukan.

7. Program Kecakapan Hidup (Life Skills)
Pendidikan yang berorientasi pada kecakapan hidup pada hakekatnya merupakan pendidikan yang diarahkan pada penguasaan bidang keterampilan, keahlian dan kemahiran kerja yang dapat diandalkan sebagai bekal peningkatan hidup. UPT PPNFI memiliki binaan sebanyak 15 kelompok termasuk KWD,KWK, dan KPP Terpadu.
Berdasarkan lingkupnya, program kecakapan hidup mencakup :
a. Kecakapan kerja;
b. kecakapan probadi sosial;
c. kecakapan dalam kehidupan sehari-hari
Program Kecakapan Hidup dirancang untuk membimbing, melatih dan membelajarkan warga belajar agar mempunyai bekal dalam menghadapi masa depannya dengan memanfaatkan peluang dan tantangan yang ada.

















PENINGKATAN MUTU KETENAGAAN :


1. Pengembangan Model Pembelajaran
Salah satu tugas pokok dan fungsi UPT Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga provinsi Nusa Tenggara Timur adalah pengembangan dan ujicoba model program pendidikan luar sekolah. Metode yang digunakan dalam pengembangan model pendidikan non formal adalah metode action research dan eksperimen.

2. Pengembangan Sistim Informasi Manejemen (SIM)
Untuk menunjang pekerjaan yang berbasis teknologi, UPT PPNFi memiliki ruang khusus mutimedia yang dilengkapi dengan fasilitas internet dengan jumlah 10 unit computer, serta terdapat juga computer untuk edithing video
Untuk menunjang kemampuan berbahasa inggris, UPT PPNFI memiliki 12 unit computer di laboratorium bahasa dengan kapasitas peerta sebanyak 24 orang. dan terdapat disatu ruangan khusus yang disebut lab bahasa. Untuk meningkatkan keterampilan bidang komputer, tersedia laboratorium IT dengan tersedia 22 fasilitas computer. komputer-komputer tersebut hasil kerja sama dengan KOICKA (pemerintah Korea)

3. Diklat TOT Pendidik dan tenaga kependidikan
TOT Diklat pendidik dan Tenaga Kependidikan dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan, khususnya dalam bidang metodologi, penguasaan subjek meter, life skills, bidang ICT, manejemen pengelolaan program pendidikan nonformal.

4. Tugas Belajar dan Bantuan Beasiswa
Penyelenggaraan tugas belajar dan bantuan beasiswa dimaksud untuk meningkatkan kualifikasi bagi PTk-PNF, melalui program S1, dan S2. Kegiatan ini telah dimulai sejak tahun 2006 bekerjasama dengan perguruan tinggi yang terpilih di Kupang. saat ini melalui Dana pembantuan PTK-PNF sebanyak 50 orang mendapat bantuan biaya u ntuk studi lanjut. S2 sebanyak 3 orang dan S1 sebanyak 47 orang.

27.7.09

BAHASA DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT
Oleh : Drs. John Hani, M.Pd


1. KONSEP KEBENARAN FILSAFAT

Filsafat merupakan suatu aktivitas manusia yang berpangkal pada akal pikiran untuk menemukan kearifan dalam hidupnya, terutama mencari dan menemukan hakekat realitas dari segala sesuatu. Realitas segala sesuatu itu menjadi objek yang dianggap benar menurut pemahaman akal manusia. dengan demikian, kebenaran merupakan kenyataan danya (being) yang menampakkan dirinya sampai masuk akal. Pengalaman tentang kebenaran dialami oleh si pengenal dalam kesamannya dengan kenyataan adanya. Maka ketika kita mencoba mencari kebenaran dalam bahasa, maka akan muncul formul logis bahasa tersebut baik berdasarkan logika struktural maupun logika semastisnya. sehingga bahasa yang kita pahami sebagai sistem simbol, sebagai lat komunikasi sesungguhnya mewujudkan kesesuaian antara logika struktur dan logika semantisny. Misalnya pernyataan : "Mahasiswa Pascasarjana UNY sedang mengikuti kuliah umum". Kalimat ini memperlihatkan kepada kita suatu urutan logis, baik secara struktur maupun semantik kita dapat memahaminya secara akaliah. Bandingkan dengan : "Mahasiswa UNY Pascasarjana kuliah umum mengikuti sedang".

2. HUBUNGAN BAHASA DENGAN FILSAFAT

Bahasa pada hakekatnya merupakan sistem simbol yang tidak hanya merupakan unsur bunyi secara empiris, melainkan memiliki makna yang sifatnya nonempiris. Dengan simbol yang bermakna tersebut, bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi, penuangan emosi manusia serta sarana perwujudan pikiran manusia dalam kehidupan sehari-hari dalm upaya mencari hakekat kebenaran.
Sedangkan filsafat merupakan suatu aktivitas manusia yang berpangkal pada akal untuk menemukan kearifan, terutama dalam mencari dan menemukan hakekat realitas dari segala sesuatu. Realitas yang dimaksudkan disini adalah bagaimana sesuatu itu adanya. Sesuatu itu ada, beratri sesuatu itu benar. Jadi kebenaran sesuatu adalah adanya sesuatu itu. Dengan demikian, ketika orang mengatakan "saya lapar" maka realitas yang ditunjukan oleh "sederetan bunyi bahasa" tersebut mengandung makna tertentu yang bisa dipahami. Tetapi jika seseorang mengatakan "Parla ayas", tidak ada realitas yang ditujukan oleh pernyataan tersebut. karena baik struktur maupun semantisnya tidak mengacu pada realitas. Jadi “sederetan bunyi bahasa dapat menentukan realtias sebuah kebenaran.
Hubungan bahasa dengan filsafat telah terjadi sejak awal perkembangan pemikiran filsafat. Di satu sisi bahasa sebagai objek material filsafat sebagaimana ilmu lainnya. Tapi di sisi yang lain, eksistensi bahasa telah mewujudkan harapan pemikiran filsafat dalam bentuk uraian, simpulan, ataupun anggapan-anggapan tentang kebenaran yang hanya bisa “dijembatani” oleh bahasa. Apapun bentuk aliran filsafat yang kita kenal sekarang baik rasionalisme, empirisme, pragmatisme atau yang lainnya bahasa mengambil posisi sentral dalam mengkomunikasikan aliran-aliran tersebut.
Memang semua ahli filsafat paham bahwa hubungan antara bahasa dengan filsafat sangat erat bahkan tidak dapat dipisahkan, terutama dalam pengertian pokok bahwa (1) tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep atau oleh karena konsep-konsep tersebut terungkapkan melalui bahasa. Analisis tersebut berkaitan dengan makna bahasa yang digunakan. (2) Bahasa merupakan objek material filsafat mampu memecahkan sekaligus membahas serta mencari hakikat bahasa yang pada gilirannya menjadi paradigma bagi perkembangan aliran-aliran maupun teori-teori linguistik.
Dengan berpangkal pada kajian para filsuf tentang hubungan bahasa dengan filsafat, maka dapat disimpulkan bahwa bahasa sebagai sarana analisis para filsuf dalam memecahkan, memahami, dan menjelaskan konsep-konsep dan problema-problema filsafat. Ketajaman, kelogisan, serta kejelasan konsep-konsep filsafati akan ditentukan oleh kedalaman analisis bahasa yang digunakan. Selain itu, bahasa (filsafat bahasa) sebagaimana bidang garapan atau bidang pemikiran filsafat lainnya seperti hukum (filsafat hukum), manusia (filsafat manusia), alam (filsafat alam), sosial (filsafat sosial) merupakan objek materia filsafat. Melalui pemahaman filsafati yang kuat akan mampu menelusuri kebenaran hakiki (realitas sesuau) dari objek yang dipelajari. Maka ketika bahasa ditempatkan sebagai objek materia filsafat, kebenaran hakiki bahasa terlatak pada konsep hakekat bahasa, cara memperoleh bahasa serta cara menganalisis bahasa segera dapat diketahui. Pertanyaan-pertanyaan yang fundamental tentang hakekat bahasa, dipahami bahwa bahasa sebagai substansi dan bentuk disamping memiliki makna sebagai ungkapan pikiran manusia juga memiliki unsur fisis yaitu struktur bahasa.
Pembahasan lebih lanjut mengenai hubungan bahasa dengan filsafat ini lebih fokus pada objek perhatian filsafat dalam tiga bidang , yakni metafisika (hakekat ada), epistemologi (cara mempeproleh pengetahuan) dan logika. Mewujudkan konsep-konsep filsafat dalam bidang-bidang tersebut, bahasa menempatkan dirinya sebagai posisi sentral.

a. Hubungan Bahasa denga Metafisika
Gambaran hubungan bahasa dengan metafisika dilukiskan sebagai suatu hubungan yang tak terpisahkan (Tautologi).
Metafisika yang oleh Aristoteles menyebutnya sebagai hakekat realitas, kualitas kesempurnaan yang ada secara keseluruhan bersangkuan dengan sebab-sebab terdalam, prinsip konstitutif dan tertinggi dari segala sesuatu telah berupaya memformulasikan kajian atau bahasannya secara fundamental dan mendasar dari segala sesuatu hanya bisa dilakukan dengan menggunakan analisis bahasa.
Bahasa “menjembatani” pemikiran tentang hakekat ada, tentang realitas segala sesuatu. Karena itu, bila kajian kita arahkan pada bahasa sebagai objek, akan muncul konsep-konsep tentang bahasa seperti: bahasa sebagai simbol, bahasa sebagai alat komunikasi, bahasa bersifat arbitrer (manasuka), dan sebagainya.

b. Hubungan Bahasa dengan Epistemologi
Epistemologi
adalah salah satu cabang filsafat yang membahas tentang pengetahuan manusia, terutama berkaitan dengan apa sumber pengetahuan itu, apakah pengetahuan tersebut benar atau tidak. Formulasi kebenaran pengetahuan hanya dapat ditunjukan oleh bahasa.
Sebuah pernyataan ilmu pengetahuan dianggap benar ketika terdapat keseuaian antara yang ada dengan kenyataan. Misalnya: 2 + 2 = 4 atau “sebuah segitiga itu mempunyai tiga buah sudut”. Kedua pernyataan tersebut dipandang memiliki kebenaran karena: 1) pengelaman indra kita terhadap realitasnya, 2) deretan simbol-simbol bahasa mendukung pernyataan tersebut. Pernyataan tentang kebenaran itu menjadi benar karena arti yang dikandung sesuai dengan realitas.
Bandingkan misalnya bila kita menggantikan salah satu simbol dari pernyataan-pernyataan diatas: tanda + (tambah) kita gantikan dengan - (kurang) maka hasilnya bukan lagi 4. Demikianpun daam pernyataan kedua, jika sudut segitiga kita gantikan menjadi 4 (empat), maka itu buka lagi sebuah segitiga. Jadi, jika pengetahuan itu kita tolak, berarti kita harus mengubah dulu terminologi (simbol bahasa tersebut) menjadi simbol lainnya.
Peranan penting bahasa dalam epistemologi berkaitan erat dengan teori kebenaran, yang menurut Kaelan terklasifikasi atas tiga, yakni:


1. Teori kebenaran koherensi
, yaitu
suatu pernyataan itu dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar :

Misalnya:
Semua manusia pasti mati. John adalah manusia.
Jadi: John pasti mati.


Pernyataan “semua manusia pasti mati”dianggap pernyataan yang benar (realitas adanya). Maka pernyataan selanjutnya “John adalah manusia” berhubungan dengan pernyataan pertama, sehingga pernyataan terakhir tak terbantahkan kebenarannya “John pasti mati”.

2. Teori Kebenaran korespondensi menyatakan
bahwa sebuah pernyataan dianggap benar bilamana materi pengetahuan yang dikandung dalam pernyataan tersebut berkorespondensi atau berhubungan dengan objek atau fakta yang diacu oleh pernyataan tersebut. Terdapat hubungan antara ide dengan fakta (antara pernyataan dengan kenyataan /realitas). Yang menghubungkan objek dengan fakta adalah formulasi bahasa (deretan huruf, kata yang memiliki formula logis secara struktur dan semantik).

Misalnya: Universitas Gadjah Mada terletak di kota Yogyakarta.

Jika pernyataan tersebut dianggap benar, maka ada kesesuaian dengan fakta. Karena formulasi “Yogyakarta” sesuai dengan realitasnya, maka pernyataan tersebut dianggap benar. Sebaliknya, jika pernyataan tersebut kita ubah menjadi : “Universitas Gadjah Mada terletak di kota Surabaya”. Karena formula “Surabaya” tidak sesuai, maka pernyataan tersebut dianggap tidak benar.
Jadi kebenaran sebuah pernyataan berdasarkan korespondensi antara ide dengan fakta. Demikian misalnya bila kita mengetakan “kursi” berarti konsep kebenaran pernyataan itu terletak pada benda yang memiliki unsur: terbuat dari (kayu, plastik, rotan, logam) serta memiliki kaki, tempat duduk, dan sandarannya. Dengan demikian, bila terdapat sebuah benda memiliki fungsi yang sama, tetapi tidak memiliki sandarannya, maka mungkin disebut sebagai “bangku”. Peranan bahasa dalam meralisasikan kebenaran ini sangat menentukan. Dalam tataran yang paling kecil fonem dapat membedakan arti, demikianpun kata. Fonem /l/, /r/, dan /d/ dapat membedakan kata : /lari/, /tari/, dan /dari/.

3. Teori kebenaran pragmatis,
yang
menyatakan bahwa sebuah pernyataan dianggap benar bilaman pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia. Dengan lain perkataan, bahwa sebuah pernyataan dianggap benar bilamana memiliki konsekuensi pragmatis bagi kehidupan prkatis manusia.

Misalnya: Merokok menyebabkan kanker dan impotensi.

Pernyataan ini menjadi benar karena memberikan informasi bahwa kanker dan impotensi dapat disebabkan oleh kebiasaan merokok. Pernyataan tersebut menjadi benar ketika orang mulai mengujinya secara ilmiah serta dapat dibuktikan. Atau realitas yang sering terjadi bahwa kanker dan impotensi dapat disebabkan oleh merokok.
Demikian juga bila bila kita berhadapan dengan pernyataan: “Tanggal 16 September 2002, sekolah diliburkan”. Pernyataan itu memberikan suatu informasi bahwa akan libur pada tanggal 16 September 2002. Pernyataan tersebut menjadi benar, ketika yang berhubungan dengan pernyataan itu mengetahuinya. Dengan demikian, ketika sebgian tetap melaksanakan kegiatan sekolah, maka kebenaran pragmatis dari sebuah pernyataan menjadi tidak berguna. Dalam konteks ini bahasa menempatkan diri sebagai posisi sentral dalam menentukan kebenaran.


c. Hubungan Bahasa dengan Logika
Logika pada dasarnya
kegiatan bernalar atau berpikir logis. Dengan berpikir logis berarti mengandalkan akal sebagai substansi dasarnya. Akal memungkinkan manusia memahami realitas secara benar. Ukuran kebenaran sangat ditentukan oleh sistematika berpikir yang diwujudkan melalui formulasi-formulasi bahasa yang dianggap benar pula, bak keseuaian antara ide dengan fakta, maupun antara pernyataan dengan kegunaan bagi kehidupan manusia pada umumnya.
Dalam kehidupan manusia, bahasa bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi saja, melainkan menyertai proses berpikir manusia dalam upaya mencari serta memahami dunia luar baik secara objektif maupun secara imajinatif. Karena itu, selain berfungsi komunikatif, bahasa juga memiliki fungsi kognitif dan fungsi emotif.

Bentuk-bentuk pemikiran manusia tergambar dalam kerangka sebagai berikut: pengertian (konsep), proposisi (pernyataan), dan penalaran (reasioning).

Pengertian merupakan sesuatu yang abstrak (yang ada dalam pemikiran-pemikiran pembicara). Sebuah pengertian dikembangkan (diwujudkan) dalam bentuk simbol-simbol bahasa (term). Ketika sebuah pengertian dilambangkan, maka rangkaian term-term tersebut menyususn sebuah proposisi. Proposisi yang tersusun atas simbol-simbol bahasa (berupa kata-kata, kalimat-kalimat) menghasilkan penafsiran. Proses penafsiran itulah bagian dari pelanalaran. Dalam hal ini bahasa menjembatani pengertian melalui proposisi hingga mampu menentukan kerangka logis dari apa yang dipikirkan. Misalnya: struktur bahasa yang terdiri atas unsur S P O dalam kalimat : “Saya menulis
surat”. Tergambarkan dalam uraian : S : Saya; P : menulis; O : surat—terdapat hubungan logis. Hubungan logis itu ditentukan oleh adanya formulasi yang ditunjukan oleh urutan kata ang membentuk konsep logis bahasa Indonesia. Karena itu, kalimat tersebut tidak bisa digantikan dengan: “Kerbau menulis surat”. Meskipun secara struktur sama, tapai tidak memiliki hubungan yang logis secara semantik. Demikian juga pada contoh berikut ini:
- Andi adalah mahasiswa UNY.
- Andi tinggal di Jalan Solo

Jadi: Andi adalah mahasiswa UNY yang tinggal di Jalan Solo. Penyimpulan ini benar menggunakan term bahasa yag benar yaitu “Andi” mengacu pada seseorang tertentu. Hubungan logisnya pun dapat diterima, sehingga dianggap benar. Namun, bilamana penentuan bahasa term tidak tepat, maka akan berakibat sesatnya kesimpulan. Kalau terjadi seperti itu, artinya logika yag dibuat menjadi tidak benar.

Bandingkan dengan contoh berikut ini:

- Ada seorang yang adalah mahasiswa UNY.
- Ada seorang tinggal di Jalan Solo

Jadi: Ada seorang yang adalah mahasiswa UNY yang tinggal di jalan Solo.

Kesimpulan kedua dari pernyataan ini menyesatkan, karena terma “ada seorang “ tidak mengacu pada orang yang sama, sehingga kesimpulannya tidak dapat bersama-sama sebagai konsep logik.
Berdasarkan analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa walaupun secara formal memiliki bentuk yang sama, namun bentuk logisnya berbeda. Perbedaan itu disebabkan oleh “kekurangtepatan” dalam menentukan simbol bahasa pada term sebagai unsur dari proposisi. Jadi peranan bahasa dalam konteks ini menghubungan hubungan logis baik secara struktural maupun secara semantis. Ada hubungan antara bentuk dan makna. Sebab kata-kata dalam bahasa dapat memiliki arti yang berbeda-beda, dan setiap kata dalam sebuah kalimat mempunyai arti yang sesuai dengan arti kalimat yang bersangkutan. Setiap kalimat mempunyai arti dalam konteks kebahasan secara keseluruhan. Karena itu, meskipun kata-katanya sama dalam kalimat yang berbeda dapat memiliki makna yang berbeda. Hal yang sama juga kita jumpai dalam kalimat. Sebuah kalimat degan struktur sintaksis tertentu dapat mempunyai arti lebih dari satu, karena tergantung konteks dalam wacana. Contoh: “Bunga itu sudah layu”. Kata “bunga” mengacu pada nama sejenis tanaman, seperti: bunga melati, bunga kenanga, bunga mawar, dan sebagainya. Sedangkan kata “bunga” juga dapat berarti “gadis” (dalam hal ini arti yang dikandungnya adalah arti konotasi).


3. KELEMAHAN-KELEMAHAN BAHASA

Bahasa merupakan alat yang paling utama dalam mewujudkan pemikiran-pemikiran filsafati serta merupakan media untuk menganalisis sekaligus merefleksi kebenaran hakiki yang menjadi perhatian utama filsafat. Seorang filsuf senantiasa menggunakan formulasi bahasa dalam mewujudkan kebenaran hakiki dari konsep ilmu pengetahuan yang ditelaahnya.

Dalam konteks kefilsafatan, bahasa menempati posisi sentral perwujudan ide atau konsep-konsep filsuf yang tertuang melalui proposisi-proposisi logis serta memiliki hubungan yang logis pula. Bahasa menentukan sebuah formulasi logis atau tidak. Bahasa tidak dapat menetukan benar atau salah, tetapi bahasa dapat mempengaruhi konsep benar dan salah. Sebuah formulasi logis harus didukung oleh kesesuaian antara ide dengan fakta. Dengan memahami formulasi logis dari sebuah ungkapan bahasa , kita dapat membedakan antara bentuk logis gramatikal (struktur) dari suatu ungkapan dengan bentuk logis semantiknya (makna yang dikandungnya).

Misalnya:
- Joko seorang dosen
-
Tuti seorang dosen.

Ungkapan “Joko” dan “Tuti” mempunyai formula logis yang sama, karena ada keseuaian. Sehingga pernyataan tersebut dapat digabungkan menjadi: “Joko dan Tuti adalah dosen”. Berbeda dengan pernyataan berikut ini:
"
-
Joko makan nasi;
-
Joko minum nasi *)

Pernyataan pertama memiliki hubungan logis, baik struktur maupun semantik, tetapi pernyataan kedua tidak memiliki hubungan logis. Karena kata “minum” tidak mempunyai hubungan logis dengan kata “nasi”. Kata “minum” hanya memiliki hubungan logis dengan kata “air”.

Sebagai sarana komunikasi ilmiah, bahasa mempunyai beberapa kekurangan. Dengan perkataan lain, kemampuan bahasa mengungkapkan secara verbal pandangan-pandangan dan pemikiran-pemikiran (konsep-konsep) filsafat sangat dipengaruhi oleh keterbatasan yang dimiliki oleh bahasa. Jujun Sumantri (1994) dan Kaelan (1998) mengemukakan bahwa kekurangan bahasa tersebut terletak pada perana bahasa itu sendiri yang bersifat multifungsi, yakni sebagai sarana komunikasi, emotif, afektif, kognitif, dan simbolik.
Bahasa sekurang-kurangnya memiliki keterbatasan sebagai berikut:

a. Bahasa memiliki kecenderungan emosional.
Padahal
dalam konteks ilmiah bahasa haruslah bersifat ilmiah tanpa mengandung sikap emosi.

b. Bahasa memiliki sifat kesamaran (vagueness).

Makna yang terkandung dalam suatu ungkapan bahasa pada dasarnyahanya mewakili ealitas yag diacunya. Misalnya penjelasan secara verbal warna bunga mawar tidak akan setepat dan sejelas pengematan secara langsung tentang aneka bunga mawar tersebut. Atau kebahagiaan yang dialami Susi Susanti ketika menjuarai cabang bulu tangkis di Olimpiade Barcelona, atau ketakutan seorang ketika ditodong oleh perampok, tak dapat dilukiskan secara tepat dengan bahasa.

c. Bahasa memiliki ciri ambiguitas (ambiguity)
Sebuah kata dapat
memiliki banyak arti. Dalam konteks kebahasaan ada gejala seperti sinonim, homonim (kata yang bentuknya sama tetapi berbeda arti), homofon (kata yang memiliki lafal yang sama tetapi berbeda arti) atau homograf (kata yang bentuk sama tepat diucapkan berbeda).

Contoh: kata “bunga” dapat mewakili “bunga melati, bunga mawar, bunga desa, bunga bangsa, dan sebagainya. Atau dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata ilusi mempunyai arti sebagai berikut:

Ilusi: angan-angan; khayal; 1. Sesuatu uyang memperdaya pikiran dengan memberikan kesan yang palsu (seperti hanlya dengan para pelancong di padang pasir yang melihat sebuah danau, yang sebenarnya tidak ada); 2. Suatu gagasan yang keliru; suatu kepercayaan yang tidak berdasar; keadaan pikiran yang memperdaya seseorang”.

d. Bahasa memiliki sifat tidak ekspilit (inexpilicitness)
Bahasa
seringkali tidak mampu mengungkapkan secara pasti (eksak), tepat dan menyeluruh mewujudkan gagasan yang direpresentasikannya. Misalnya: tidak ada suatu rumusan yang benar-benar sama tentang pengertian dari “ilmu” atau “pendidikan”.

e. Bahasa memiliki sifat berputar-putar (sirkular)
Terutama dalam mendefenisikan
suatu pengertian/definisi. Misalnya kata “pengelolaan” difeinisikan sebagai “kegiatan yang dilakukan dalam sebuah organisasi”. Sedangkan “organisasi” didefinisikan sebagai “suatu bentukkerja sama yang merupakan wadah dari kegiatan pengelolaan”. Atau contoh lainnya: “data” sering didefinisikan sebagai “ bahan yang diolah menjadi informasi”; sedangkan “informasi” didefinisikan sebagai “keterangan yang didapat dari data”. Dari contoh ini terlihat bahwa terdapat perputaran kata yang didefinisikan. Kata yang didefinisi terdapat di dalam kata yang didefinisikan.





f. Memiliki kelemahan pada aksentuasi/tekanan

Dalam ucapan terdapat tekanan pada kata tertentuyang mampu mengubah arti atau makna. Kekurang-perhatian terhadap tekanan akan mengalami kesalahan penafsiran maksud dari sebuah pernyataan. Contoh ungkapan:

Kucing makan tikus mati.

Kalau aksentuasinya pada kata “kucing”, maka tanpa tahu penyebabnya tikus yang mati itu dimakan oleh kucing. Atau kucing melakukan kegiatan maka tikus yang sudah mati. Tetapi bila aksentuasinya pada kata “tikus” , maka dengan menyebabkan makan tikus, kucing mati. Artinya, karena makan tikus, kucing itu mati. Sedangkan bila aksentuasinya pada kata “makan”, maka terdapat pemahaman bahwa pada saat kucing sedang makan, tanpa penyebab atau ada sebab tertentu, tikus mati. Artinya baik tikus atau pun kucing tidak saling mempengaruhi.

Bandingkan juga dengan contoh berikut ini: Setiap hari Senin murid-murid SDN V Yogyakarta mengadakan apel.

Apel itu buah.

Jadi: Setiap hari Senin murid-murid SDN V Yogyakarta mengadakan buah. Kesimpulan tersebut tentu saja tidak benar, karena kata “apel” memiliki dua pengertian, yakni 1) dalam hubungannya dengan baris-berbaris, 2) dalam hubungannya dengan nama sejenis buah-buahan.

g. Bahasa memiliki kesesatan karena arti kiasan

Terdapat analogi arti kiasan dan arti yang sebenarnya. Jika dalam penalaran (upaya pemecahan pemikiran filsafati) menggunakan arti kiasan (disamakan dengan arti yang sebenarnya) maka akan terjadi kesesatan. Misalnya: ungkapan “panjang tangan” (yang dapat berarti suka mencuri) tidak dapat digunakan dalam proses pemecahan persoalah ilmiah atau kebenaran yang sesungguhnya. Seorang filsuf harus dapat membedakan mana yang konotasi mana arti yang sebenarnya.

h. Kesesatan karena amfiboli (amphibolia)

Amfiboli terjadi kalau konstruksi kalimat itu sedemikian rupa, sehingga artinya menjadi bercabang. Contoh: “Mahasiswa yang duduk di atas meja paling depan.” Dalam kalimat ini apa yang paling depan, mahasiswanya atau mejanya. Kalau dalam sebuah penalaran kalimat amfiboli itu di dalam satu premis digunakan dalam arti-arti yang satu, sedangkan dalam konklusi artinya berbeda maka terjadilah kesesatan.

4. HAKEKAT BAHASA

Bahasa filsafat yang memiliki berbagai kelemahan tersebut pada hakekatnya dapa diatasi manakala kita mengetahui dan menerapkan analisis bahasa dalam filsafat. Karena itu, dalam berfilsafat haruslah meletakkan landasannya pada penggunaan bahasa sehari-hari dengen memperhatikan secara teliti aturan-aturan permainan bahasa yang benar. Di samping itu, diperlukannya sebuah analisis bahasa yang sifatnya netral agar dapat memberikan penafsiran filosofis yang berdasarkan realitas.

Sebagai objek material filsafat, pada hakekatnya bahasa adalah sebagai berikut:

  1. Bahasa adalah struktur atau bentuk yang sifatnya empiris. Pandangan yang berlandaskan pada teori strukturalisme ini menyatakan bahwa hakekat bahasa adalah sebagai suatu struktur atau bentuk yang sifatnya empiris. Bahasa pada hakekatnya tidak memiliki hubungan makna dengan metafisika, dimensi psikologis atau realitas dunia maupun ide-ide.
  2. Hakekat bahasa adalah sistem tanda, yakni berupa sistem bunyi atau lambang-lambang bunyi. Seperti fonem: /b/, /a/, , /g/, /k/, dan sebagainya. Sistem fonem mengacu pada suatu yang dapat membedakan arti. Demikian juga kata merupakan penanda suatu realitas dunia yang di luar sistem tanda tersebut. Tanda mengacu kepada sebuah makna yang berupa benda, bintang, nilai, maupun konsep-konsep. Misalnya kata “ parang”, “kelapa”, “baik”, dan sebagainya. Bunyi-bunyi bahasa tersebut merupakan perwujudan ekspresi pikiran manusia, perasaan serta emosi manusia.

  1. Bahasa sebagai sarana komunikasi

Manusia dalam hidupnya senantiasa berhubungan dengan manusia lain. Dalam berhubungan/berkomunikasi, manusia menggunakan suatu media yang representatif yaitu bahasa. Menurut Charles Osgood yang dikutip Kaelan (1998) menyatakan bahwa selain manusia, binatang pun memiliki sarana komunikasi yang disebutnya “distal sign” yang berupa: raungan, geraman, ataupun gerakan tubuh lainnya. Namun bahasa dalam pengertian ini melibatkan proses berpikir, kesadaran, serta tanda yang diekspresikan melalui binyi-bunyi tertentu.

Dalam hubungan dengan komunikasi ini Austin berpendapat (dalam Kaelan 1998) menyatakan bahwa penggunaaan bahasa tidak dapat dilepaskan dengan situasi-situasi konkrit di mana ungkapan-ungkapan tersebut dikemukakan. Austin membedakannya menjadi “ucapan konstatif” yakni ungkapan yang melukiskan suatu keadaan faktual. Ungkapan tersebut memiliki konsekuensi untuk ditentukan benar atau salah. Misalnya:

- Perekonomian Indonesia mengalami goncangan karena jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika.

- Banyak tenaga kerja Indonesia terlantar dan bermasalah di Malaysia.

Di samping ungkapan konstantif, dibedakannya juga ungkapan “performatif” (performative utterance), yakniungkapan yang memiliki konsekuensi perbuatan bagi penuturnya. Dengan suatu ucapan performatif seseorang sungguh-sungguh berbuat sesuatu. Misalnya:

- Saya menunjuk saudara sebagai Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni.

- Dengan memohon berkat Tuhan, Rapat Senat Universitas saya buka secara resmi.

Ucapan-ucapan semacam itu tidak dapat dibuktikan benar atau salah, melainkan berkaitan dengan layak atau tidak diucapkan seseorang. Ungkapan yang kedua misalnya, tidak dapat diungkapkan oleh seorang tukang sapu atau seorang sopir ataupun seorang mahasiswa, karena secara formal mereka tidak memiliki kewenangan untuk mengucapkannya.

  1. Bahasa merupakan perwujudan ide

Bahasa dianggap sebagai hasil proses pemikiran. Apa yang dipikirkan tergambar dalam ungkapan bahasa. Seseorang yang berteriak “Tolong!” merupakan perwujudan rasa ingin dibantu, atau “kubunh kau!” dan sebagainya merupakan perwujudan dari rasa kmarahan atau kejengkelan. Struktur bahasa ditentukan oleh struktur pikiran.

  1. Bahasa sesuatu yang bersifat dinamis

Bahasa pada dasarnya mengalami perubahan yag terus-menerus. Atas dasar ini kemudian kita mengenal adanya rumpun bahasa, dialek-dialek atau perubahan kata, peminjaman kata-kata dari bahasa lain. Misalnya: kata “saudara” makna dulu diartikan sebagai “sekandung” , tetapi makna kini meluas menjadi “ sapaan keakraban untuk yang sederajat”. Demikian juga kenyataan kata yang dipinjam dari bahasa lain, misalnya: kata “ilmu, kitab” yang dipinjam dari bahasa Arab atau kata “meja, jendela” yang dipinjam dari bahasa Portugis.

5. PENUTUP

Meskipun memiliki keterbatasn-keterbatasannya, bahasa tetap menjadi sarana perwujudan pemikiran-pemikiran filsafat. Dengan bahasa kita dapat mengetahui hakekat atau realitas sesuatu. Bahasa telah menjembatani kita dengan dunia maha luas yang dikaji oleh dunia filsafat. Bahasa telah menghubungkan ide menjadi kenyataan. Bahasa juga menentukan formula logis dan tidak logis dari konsep-konsep filsafati.

Secara garis besar pembahasan ii dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Salah satu tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep (concetual analysis) mengenai hakekat kebenaran (realitas), dengan bahasa sebagai basis analisisnya.
  2. Kebenaran sebuah pernyataan ditentukan oleh adanya keseuaian antara ide dengan fakta yang ditunjukannya.
  3. Konsep-konsep serta kelogisan pernyataan filsafat dapat terjadi jika terdapat formula logis baik secara struktur (gramatika) maupun secara semantik (makna).
  4. Bahasa sebagaimana objek materia filsafat lainnya telah membahas mengenai hakekat bahasa sebagai komunikasi, sebagai sisten tanda, sebagai bentuk dan struktur, yang selalu berhubungan dengan pikiran, kebudayaan masyarakat pemakainya.
  5. Meskipun bahasa menempati posisi sentral daam mewujudkan pemikiran-pemikiran filsafat, sesungguhnya banyak realitas yang tidak sepenuhnya dapat dikomunikasikan oleh bahasa. Seperti adanya kesamaran makna bahasa, ambiguitas, kesesatan aksentuasi bahasa, dan sebagainya.

SUMBER BACAAN

Kaelan, 1998. Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya. Yogyakarta: Paradigma.

Ruzal Mustansyir dam Misnal Munir. 2002. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suriasumantri, Jujun S. 1994. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.

Verhaak C dan R. H. Imam. 1997. Filsafat Ilmu Pengetahuan., Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-ilmu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

KONTAK KAMI

Nama Kantor :
UPT Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal
Dinas Pendidikan,Pemuda dan Olahraga
Provinsi Nusa Tenggara Timur

Alamat Kantor :
Jl. Perintis Kemerdekaan Kota Baru Kupang

Telepon/Fax /e-mail :
0380-831833 - ppnfi_ntt@yahoo.co.id